Benarkah Akar Bajakah Bisa Menyembuhkan Kanker Payudara?

Heboh Akar Bajakah Tunggal


Ide itu murah. Mungkin karena sedemikian murahnya, jarang ada yang mau menindaklanjutinya, kecuali para pelajar SMA ini. Sang cucu awalnya heran mengamati neneknya sembuh dari kanker payudara stadium 4 setelah mengkonsumsi rebusan batang kayu Bajakah, pohon yang tumbuh di lahan gambut dan endemik di wilayah Kalimatan. Dikenal sebagai sumber pengobatan tradisional, rebusan kayu Bajakah dikonsumsi oleh masyarakat Dayak secara turun-temurun.
Sang cucu (Yazid), bersama dua sobat lainnya (Anggina dan Aysa), bertiga yaitu pelajar SMA2 Palangkaraya kemudian berpikir bersama Bu Helita, guru pembimbingnya, bagaimana menjelaskan kesembuhan secara ilmiah. kurva Kaplan Meier.


Saya sendiri sempat berpikir bagaimana mengomentari info ini secara proporsional. Sebagai peneliti genetik kanker, saya ingin mengapresiasi upaya dan semangat pelajar-peneliti ini, siapa tahu mereka yaitu sejawat saya juga di masa depan.


Tiga apresiasi


1. Membongkar mistis

Salah satu ciri peneliti yaitu jeli mengenali persoalan sekitar, membayangkan kemungkinan solusinya, dan menguji kemungkinan tersebut secara sistematis. Peneliti tidak menyerah begitu saja saat dihadapkan ke fenomena mistis, karena mencari dan menemukan prosedur atau rumus tentu akan menunjukkan dampak baik pada masyarakat. Disini nampak calon ilmuwan kita berupaya mereproduksi apa yang nenek mereka lakukan yaitu dengan membuat rebusan kayu bajakah yang diolah secara sederhana (cukup dikeringkan dengan sinar matahari, kemudian direbus). Menariknya mereka sudah berpikir untuk membuat model tumor pada mencit dan melakukan observasi apakah mencit yang diminumkan rebusan bajakah mengalami pengecilan tumor. Apa yang mereka lihat, tumornya tidak hanya mengecil bahkan menghilang! Persis mirip apa yang sang nenek alami.


2. Komitmen 

Dari kisah yang diceritakan, para peneliti muda ini tidak mengajukan tawaran riset dan nampaknya mendanai secara swadana. Bahkan mereka dan keluarganya pun rela mengeluarkan dana 30 juta rupiah untuk berangkat ke Korea berkompetisi di ajang ilmiah. Disamping studi pada mencit, yang tentu tidak murah, mereka juga berkolaborasi dengan universitas untuk melihat konten apa saja yang ada di sediaan Bajakah. Saya bayangkan, pasti ada biayanya. Komitmen waktu dan dana mirip ini tidak mudah ditemui di generasi muda kita.

Maka saat dua siswi menyatakan cita-citanya untuk menjadi dokter, saya bisa mengapresiasinya. Coba saja lakukan survey pada mahasiswa gres (maba) fakultas kedokteran (FK) di negeri ini, tanyakan ke mereka the quintessential question "Kenapa mau jadi dokter?" Ketika mereka menjawab secara klise," karena ingin membantu sesama." Kita harus tanyakan lagi, "apa bukti komitmen kalian untuk membantu orang dengan memasuki fakultas kedokteran?" Berapa banyak dari lulusan SMA ini pernah merasakan menjadi sukarelawan di fasilitas kesehatan, membantu, mendampingi, mendengarkan pasien, merasakan magang di unit gawat darurat, menghabiskan waktu meneliti di laboratorium medis di waktu senggang mereka, di masa liburan mereka? Dua ilmuwan muda dari SMA2 Palangkaraya ini layak untuk mendaftar masuk FK karena sudah merasakan 'manisnya' dunia penelitian kedokteran yang sarat dengan ketidakpastian.


Dokter bukanlah sekedar sosok arif yang cakap dengan logika, angka dan data, tetapi dia juga sosok humanis yang peka dalam mengkomunikasikan hasil diagnosa dan prognosis penyakit ke pasiennya. Dia harus memiliki tenggang rasa sehingga mendapat kepercayaan dari pasiennya sehingga bisa bekerja sama untuk melakukan terapi. Pada balasannya pasien bukanlah sekedar kantong garam dengan sinyal listrik, mereka yaitu insan yang punya perasaan dan harapan, pikiran dan perasaan. Demikian juga seorang Dokter yaitu sosok strategis untuk membantu sang pasien dengan ilmunya bersamaan dengan sisi kemanusiaannya. Disitulah calon maba FK seharusnya berpikir, apakah profesi dokter yaitu profesi untuknya, karena masih banyak profesi lain yang semulia dokter untuk membantu sesama kita.

    3. Kesinambungan dan Kolaborasi

    Bu Helita, sang guru pembimbing mereka memiliki poin penting untuk tidak menjelaskan secara detil lokasi Bajakah secara spesifik, dengan alasan untuk menghindari eksploitasi alam. Ini ada benarnya. Penapisan zat aktif anti kanker dari materi alam tidak mudah. Biasanya, jumlah zat aktif dari materi mentah sangat sedikit. Jangan sampai jutaan batang pohon, apalagi pohon langka habis ditebang “hanya” untuk mendapat beberapa gram zat aktif misalnya. Contohnya yaitu paclitaxel, obat anti kanker yang ditapis dari materi alam yaitu taxol (dari kulit kayu Taxus brevifolia ). Ketika zat aktif ditemukan dan struktur molekul kimianya diketahui secara rinci, para peneliti melakukan produksi zat aktif secara sintetik sehingga alam pun terjaga. 

    Untuk memahami kandungan zat aktif, tim SMA2 ini juga berkolaborasi dengan dengan peneliti Dr Eko Suhartono, kepala laboratorium Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat. Semangat kerja sama ini patut dihargai karena ilmuwan tidak bekerja sendiri. Tergantung dari pertanyaan penelitian, seorang ilmuwan harus tahu kemana atau siapa yang dianggap mumpuni untuk membantu memecahkan persoalan yang dihadapi.


    Tiga catatan

    1. Pusat bimbingan

    Disamping mengapresiasi, kita tentu berharap bahwa ada bimbingan lanjutan untuk para peneliti muda, tidak hanya terhadap anak muda yang diekspos media tetapi juga ribuan anak muda lainnya di berbagai kampus tanah air yang secara senyap dan tekun meneliti dan menapis biodiversitas kekayaan alam yang berpotensi memiliki zat anti kanker. Dimana bimbingan lanjutan ini bisa dilakukan? Apakah Indonesia sudah memiliki pusat penelitian onkologi berkelas dunia? Apakah kita sudah memiliki pusat kanker sekelas MD Anderson Cancer Center, Memorial Sloan Kettering, atau Dana Farber Cancer Center? Saat ini kita masih ada jurang antara pelayanan dan penelitian, belum ada sinergi jadwal dan pembiayaan secara konsisten. 

    Ini menjadi pekerjaan rumah bersama, bahwa dalam penelitian dan pendidikan onkologi perlu integrasi dan kerja sama lintas pusat penelitian dan disiplin ilmu. 

    Misalnya, untuk memahami dan meneliti faktor risiko terjadinya dan tingkat keberhasilan terapi kanker payudara memerlukan data kependudukan (spasial geografis), rekam medis, dan bank jaringan. Bayangkan chip yang sudah terbenam dalam elektronik KTP yang kita miliki ini akan merekam data setiap pasien yang datang berobat ke fasilitas kesehatan perihal alamat tempat tinggalnya, deskripsi profesi, perilaku dan sejarah reproduksinya, riwayat pengobatan dan tanggal kekambuhannya, dan status histopatologis dan penanda biologis tumornya.  Analisa big data mirip ini memerlukan banyak pakar kedokteran klinis, statistik, kesehatan masyarakat, biologi dasar, biomedis, farmasi, dan tentunya ekonomi sehingga mendapat gambaran yang utuh perihal kualitas layanan kesehatan dan pembiayaannya yang menyeluruh sehingga bisa melahirkan inovasi dengan penelitian berkelanjutan. 

    2. Observasi, mekanisme, dan uji klinis

    Ada hal yang menarik dari kisah sang nenek penderita kanker payudara stadium 4 yang kabarnya "sembuh" dengan mengkonsumsi air rebusan bajakah karena terkendala biaya. 

    Apa itu sembuh? Berapa banyak yang sembuh? Dalam konteks kanker payudara, makna sembuh berarti tidak timbulnya kekambuhan dalam 5 tahun atau 10 tahun. Ini berlaku untuk tipe kanker payudara stadium awal. Untuk stadium 4, kemungkinan untuk 'sembuh' memang lebih kecil (sekitar 25%) mengingat sudah terjadi sebaran (metastasis) ke organ lain yang memang bisa berdampak fatal, dibandingkan stadium 1-2. 

    Lalu apakah benar, sang nenek benar-benar sembuh tanpa mendapat terapi konvensional? Apalagi setelah mengkonsumsi rebusan bajakah?

    Apakah zat aktif dalam rebusan Bajakah bisa 'melenyapkan sel kanker'? Berapa banyak warga Dayak penderita kanker payudara dengan stadium yang sama juga 'sembuh' dengan mengkonsumsi rebusan tersebut? Atau, secara kebetulan, sang nenek sedang mengalami fenomena 'spontaneous breast cancer regression' (hilangnya kanker secara tetiba tanpa terapi yang adekuat)? 

    Fenomena spontaneous breast cancer regression ini diakui sangat jarang terjadi (Dani et al 2015). Kasus ini pertama kali diteliti secara detil oleh tim Dr Lukeman dari MD Anderson Cancer Center di tahun 1978. Seorang wanita sepuh berusia 60 tahun mengalami kanker payudara dengan metastasis ke tulang rusuk disertai efusi pleura, artinya mengalami stadium 4. Sang pasien menyadari adanya retraksi di payudara kirinya di tahun 1972 bulan november, namun membiarkannya sampai bulan Januari 1973 kemudian berkonsultasi dengan dokter. Setelah diperiksa dan dibiopsi patologi, payudara kirinya tumbuh kanker  yang sudah terfiksasi dan tidak memungkinkan dibedah. Pasien kemudian mendapat radioterapi dengan dosis 5,000 rads dalam kurun 5 minggu. Setelah follow up di bulan september 1973, pasien mengalami efusi keganasan di paru. Sejak itu pasien tidak mendapat terapi apapun. Menariknya saat pasien kontrol di tahun 1974, tidak ada lagi efusi paru, sampai tahun 1978, pasien tetap bebas dari metastasis. 

    Dalam artikelnya, Dr Lukeman dan tim berspekulasi bahwa prosedur thoracentesis (dalam upaya mengambil efusi pleura) secara tidak sengaja mengakibatkan bengkak yang balasannya mengaktikan sistem imun pasien dan berdampak terhadap lenyapnya sel kanker. Hal ini mirip dengan legenda St Perigrine di kurun 13 yang mengalami tumor namun balasannya hilang setelah mengalami bengkak hebat. Konsep aktifasi daya tahan tubuh (sistem imun) ini dikenalkan oleh William Coley dari New York dimana dia menginjeksi adonan kuman (Coley Vaccine) untuk menterapi kanker kandung kemih. Namun protokol Coley ini sulit untuk diulang dan mengakibatkan risiko tinggi. 

    Kisah ini memberi pelajaran bahwa fenomena hilangnya kanker secara spontan memang bisa terjadi, dan memang perlu penelitian lebih lanjut. Artinya, klaim 'konsumsi bajakah' dengan 'kesembuhan', bisa jadi adalah co-incidence atau kebetulan saja, dan klaim tersebut memang tidak bisa diterima karena klaim testimoni bukan bukti yang diterima secara medis, mengingat dampak berbahaya terhadap kualitas pelayanan kesehatan masyarakat apabila dikonsumsi untuk menggantikan terapi standar. 

    Apakah ada yang unik dari Kalimantan Tengah?

    Bajakah bergotong-royong sudah dikonsumsi oleh masyarakat dan diklaim memiliki khasiat untuk mengobati berbagai klaim penyakit, termasuk keganasan. Di satu sisi, konsumsi bajakah berarti aman. Namun pertanyaannya apakah efektif? Lebih jauh lagi kita bertanya, apakah efektif untuk mencegah kanker atau efektif untuk mengobati kanker. Ini dua hal yang berbeda. Kalau kita lihat dari data Pusdatin Kemenkes tahun 2016 jumlah total (prevalensi) pasien kanker payudara di Kalimatan Tengah termasuk rendah (112 pasien atau 0.1 per 1,000 penduduk), Gorontalo (111 pasien atau 0.2 per 1,000 penduduk ) dan Papua Barat (80 pasien atau 0.2 per 1,000 penduduk). Sebagai perbandingan, di Kalimantan Timur ditemukan 1,879 pasien atau 1 per 1,000 penduduk), Kalimantan Selatan 1,328 pasien atau 0,7 per 1,000 penduduk). 

    Memang data yang dirilis pusdatin ini perlu dianalisa lebih lanjut, karena ini yaitu data prevalensi yaitu kumpulan jumlah pasien gres dan pasien lama (yang masih hidup di tahun 2016).  Memang sekilas, data ini menunjukkan ada sesuatu di Kalimatan Tengah mengapa jumlah penderita kanker termasuk rendah. Apakah memang karena konsumsi yang rutin dari Bajakah? Apakah karena keunikan variasi genetik penduduk asli kalimantan tengah yang 'kebal' terhadap kanker payudara? Apakah memang ada keunikan dari riwayat reproduksi penduduk di sana yang menunjukkan proteksi dari kanker payudara (seperti umur mens yang cenderung terlambat? usia menikah dan hamil muda dibawah 20 tahun? Atau ada alasan lain yang lebih praktis, yaitu keterbatasan sumber daya dalam upaya mendata jumlah pasien secara akurat..

    Kedua, data ini berdasarkan data pasien yang didiagnosa dokter di rumah sakit, bukan berdasarkan alamat tempat tinggal pasien, sehingga faktor risiko terkait lokasi geografis dan paparan lingkungan tidak bisa dianalisa. Jogjakarta yang dikenal dunia merupakan pusat akademik penelitian kanker payudara malah menempati peringkat tertinggi yaitu 2.4 per 1,000 penduduk! Tentu saja kita tidak bisa pribadi menyimpulkan bahwa ada keunikan "Jogja Factor" yang berkontribusi, mirip paparan konsumsi Gudeg Jogja atau keunikan variasi genetik Jogjaness, mengingat Jogja mendapat tumpuan pasien dari propinsi lain, dan sebagai pusat akademik, tentu tim Jogja paling rajin untuk mengumpulkan data.   



    Mekanisme anti Kanker Akar Bajakah Asli Kalimantan?

    Uji awal kandungan Bajakah yaitu senyawa alkanoid, saponin, terpenoid, flavonoid yang memang jamak ditemukan dari ekstraksi tanaman. Lebih jauh lagi senyawa tersebut juga dikenal memiliki kandungan antioksidan yang tinggi. Namun, apakah antioksidan itu sendiri yaitu zat yang bertanggungjawab terhadap penyembuhan kanker?

    Sebelum kita memahami konsep pengobatan kanker kita mulai dulu dengan bagaimana kanker terjadi. Kanker yaitu hasil evolusi perubahan atau mutasi genetik bertahun-tahun yang pada balasannya merubah sosok sel yang 'nerimo' menjadi sel yang 'supremo'. Sel epitel payudara memiliki koleksi lisan berbagai gen dengan satu tujuan utama: produksi susu bayi. Maka sel epitel payudara tidak perlu memiliki kemampuan untuk jalan-jalan, berpindah-pindah, karena gen yang diperlukan untuk jalan-jalan atau berpindah-pindah tidak aktif. Sebaliknya sel limfosit yang tugasnya memang harus berpatroli memburu kuman memiliki sekumpulan gen yang harus aktif ekspresinya. Nah, saat sel mengalami mutasi, susunan gen dan ekspresinya bisa berubah. Gen yang awalnya tidak aktif menjadi aktif. Sel payudara yang telah bermutasi menjadi sel kanker juga memiliki kemampuan gres untuk bisa jalan-jalan (atau metastasis). Proses evolusi mutasi yang melibatkan banyak gen akan menyeleksi sel dengan kombinasi mutasi gen yang pas, yang memiliki sifat yang memungkinkan untuk bisa survive dalam kondisi sulit, mirip hidup berdesak-desakan dalam kondisi oksigen yang minim dan bisa pindah ke organ lain, membuat koloni baru, yang tidak akan bisa dilakukan oleh sel normal yang sudah 'nerimo' dengan habitat aslinya. 

    Salah satu sumber mutasi yang paling sering yaitu radikal bebas yang diproduksi tubuh itu sendiri sebagai konsekuensi makhluk yang menghirup oksigen dalam proses bernafas untuk menghasilkan energi dari asupan makanannya. Maka konsumsi herbal atau ekstrak tumbuhan yang kaya dengan flavonoid contohnya memang bisa mengurangi beban radikal bebas dan juga mengurangi beban mutasi yang terjadi di dalam tubuh kita. 

    Namun, apabila konsumsi herbal itu digunakan untuk "membunuh" sel kanker, maka ini yaitu taktik salah alamat. Sel kanker ini sudah mengalami mutasi maka mengurangi radikal bebas tidak menunjukkan imbas terhadap sel kanker. Oleh karenanya konsumsi herbal secara rutin memang bisa menunjukkan imbas pencegahan (selama tidak banyak ditambahkan gula) terhadap terjadinya kanker, tapi bukan untuk mengobati kanker. 

    Kalau kita perhatikan zat kemoterapi yang berasal dari tumbuhan mirip paclitaxel (yang merupakan standar kemoterapi untuk kanker payudara), mekanismenya bukan melalui penghambatan radikal bebas. Paclitaxel membunuh sel kanker, sel yang aktif berproliferasi, dengan membuat mikrotubul menjadi kaku sehingga mengganggu proses pembelahan sel atau mitosis.  Silakan simak video dibawah ini.


    Mekanisme kerja paclitaxel yaitu menghambat kinerja microtubules di fase mitosis


    Uji klinis

    Ketika Prof Aru menyatakan perlunya uji klinis untuk mengambarkan bahwa kandungan Bajakah berpotensi memiliki zat aktif anti kanker, sebagian mungkin bertanya untuk apa? Bukankah testimoni yaitu pengalaman nyata? Masalah dari testimoni yaitu 'data gagal yang tersembunyi'. Saya sendiri belum pernah mendengar testimoni negatif dari produk tertentu, "saya pengguna produk ini, dan ternyata hasilnya tidak sesuai dengan yang saya harapkan." 

    Lalu bagaimana dengan hasil uji tumor di mencit yang hilang setelah diminumi ekstrak Bajakah?

    Di sini perlunya bimbingan tahap lanjut, karena dalam siaran TV tidak dirinci desain penelitian dari uji coba mencit. Saya sempat mbatin, "bagaimana cara adik2 tsb menginduksi tumor pada mencit, apakah tumor itu juga bisa menghilang sendiri?" Kita tidak tahu datanya, berapa mencit yang dicoba, apakah ada kelompok kontrol mencit yang diinduksi tumor tapi hanya diberikan air bening saja tanpa Bajakah? Di laboratorium besar, model tumor payudara mencit pun banyak ragamnya. Saya sendiri dulu semasa doctoral training, menginduksi tumor dengan mutasi gen BRCA1 dan itu perlu waktu 1 tahun lebih sebelum balasannya mencit mengalami tumor! Kenapa harus dengan mutasi gen BRCA, karena saat itu saya tertarik untuk mengambarkan adanya kekerabatan alasannya jawaban antara mutasi gen dan terjadinya tumor. 

    Maka uji klinis yaitu upaya obyektif untuk membandingkan imbas dua terapi yang berbeda. Di bawah ini yaitu tumpuan hasil uji klinis untuk melihat efektiftas paclitaxel pada kanker payudara. Di sini terlihat bahwa proteksi paclitaxel memiliki dampak lebih baik (survival atau kesintasan lebih lama)  pada pasien kanker payudara dengan yang memiliki lisan penanda tumor (biomarker) HER2 positif (sisi kanan) dibanding pada pasien kanker payudara dengan HER2 negatif (sisi kiri). Nampak pada pasien HER2 positif, separuh lebih pasien tidak mengalami kekambuhan 12 tahun sejak diagnosis. Bandingkan dengan pasien HER2 positif yang tidak diberikan paclitaxel dimana hampir separuh sudah mengalami kekambuhan di rentang waktu yang sama. 

    Konsep uji klinis perlu dimiliki oleh setiap peneliti yang berusaha mencari obat gres dan juga pasien saat mempertimbangkan taktik terapi yang tepat bersama dokter yang merawatnya. 




    Hasil uji klinis Paclitaxel pada kanker payudara tergantung pada status ekpresi gen HER2 Hayes et al 2007

    Dampak Penyiaran 

    Kurang dari tiga hari sejak penayangan Bajakah, berbagai produk siap jual mulai bermunculan dengan label klaim "menyembuhkan penyakit antara lain kanker payudara". Ketika saya melihat tayangan Aiman di Kompas TV, bergotong-royong saya berharap Aiman lebih dalam investigasinya dan akan lebih elok untuk tidak menekankan kata 'sembuh'.



    Di sini media arus utama bergotong-royong memiliki peran penting dalam meng-edukasi masyarakat. Akan sangat manis untuk menampilkan juga wawancara dengan pakar kesehatan dan menerangkan konsep uji klinis, mengapa uji klinis itu penting, dan mengapa penelitian perlu dilakukan secara sinergi.



    Yang tidak kita harapkan yaitu pasien kanker payudara beramai-ramai meninggalkan terapi konvensional dan mulai mengkonsumsi ekstrak Bajakah, atau herbal lain.


    Studi dari Taiwan yang melibatkan tidak kurang dari 35 ribu pasien yang terdiagnosa kanker payudara sejak tahun 2004 sampai 2010, dan follow up terakhir tahun 2012,  memberikan kita dua macam pelajaran. Pertama, pentingnya pusat registrasi kanker untuk memantau angka peristiwa secara akurat dan menyimpan informasi terapi dan kesintasan pasien secara nasional. Kedua, kita bisa melihat dampak kesintasan jawaban penolakan pasien kanker payudara terhadap terapi konvensional. Tentu sangat tidak beretika, untuk membandingkan kesintasan antara pasien yang dirandomisasi untuk diberikan terapi vs tanpa terapi. Namun pasien yang secara sadar menolak untuk diterapi menunjukkan kita informasi apakah ada perbedaan kesintasan yang bermakna. Ironisnya, pasien kanker payudara Taiwan ini 100% bisa mengakses asuransi nasional, jadi penolakan terapi kanker payudara bukan disebabkan oleh faktor finansial.

    Data dibawah ini menunjukkan bahwa 3,5% atau 1,243 pasien yang menolak diterapi (atau terlambat terapi 4 bulan paska diagnosis) memiliki survival atau probabilitas kesintasan lebih kecil dibandingkan kelompok pasien yang mengikuti terapi konvensional (bedah, kemoterapi, radioterapi, terapi target).


    Pasien yang menolak atau terlambat terapi (garis putus) memiliki kesintasan lebih buruk dibandingkan pasien yang mengikuti terapi (garis keras) dari Chen et al 2015. 

    Referensi

    Hayes DF, Thor AD, Dressler LG, et al. HER2 and Response to Paclitaxel in Node-Positive Breast Cancer. N Engl J Med. 2007;357(15):1496-1506. doi:10.1056/NEJMoa071167.

    Jennewein, S et al Taxol biosynthesis: Taxane 13α-hydroxylase is a cytochrome P450-dependent monooxygenase. Proceedings of the National Academy of Sciences Nov 2001, 98 (24) 13595-13600; DOI: 10.1073/pnas.251539398



    Dani M, Pinder S, Baum M, Fentiman IS (2015) A Long Breast Cancer Remission without Standard Therapy. J Clin Case Rep 5:569. doi:10.4172/2165- 7920.1000569



    Chen SJ, Kung PT, Huang KH, Wang YH, Tsai WC. Characteristics of the Delayed or Refusal Therapy in Breast Cancer Patients: A Longitudinal Population-Based Study in Taiwan. PLoS One. 2015;10(6):e0131305. Published 2015 Jun 26. doi:10.1371/journal.pone.0131305



    Spontaneous “healing” of breast cancer https://link.springer.com/article/10.2325/jbcs.12.140



    Salman, T. Spontaneous tumor regression, Journal of Oncological Science, Volume 2, Issue 1, 2016, Pages 1-4 https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2452336416300255#bib34

    0 Response to "Benarkah Akar Bajakah Bisa Menyembuhkan Kanker Payudara?"

    Posting Komentar

    Postingan Populer

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel